jogjacamps.blogspot.com - Membaca pribadi seorang Gus Dur itu gampang-gampang sulit. Secara sepintas, orang awam yg pernah mendengar tentang Gus Dur tapi baru pertama kali bertemu dgn beliau, akan mengatakan perkataan beragam, ada yg mengatakan beliau itu mriyayi, nyantri, ngiayi, mribumi, bahkan ada jg yg mengatakan nylenehi. Suatu kali ada seorang tukang becak bertemu beliau di pinggir jalan misalnya, menganggap beliau seorang kyai, dan si tukang becak pun minta berkah doa. Beda lagi ketika beliau pidato di depan masyarakat non muslim, beliau dianggap sebagai bapak bangsa yg tak membeda-bedakan suku, ras dan agama.
Lain lagi ketika beliau bertemu salafi / islam-eksklusif yg bersemboyan kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah, beliau dianggap sebagai orang liberal bahkan dianggap antek-anteknya Yahudi dan Amerika. Dengan kata lain, melihat dan membaca seorang Gus Dur itu bisa mendapatkan kesimpulan yg relatif. Bahkan belum mencapai kesimpulan, imajinasi dan pandangan sepintas kita tentang beliau akan berbeda-beda, bahkan yg semula mengatakan bahwa beliau seperti ni bisa berbalik mengatakan seperti itu. Semua serba tak menentu, walaupun harus disadari bahwa ketidaktentuan itu bukan mendasari kenyataan bahwa beliau tak memiliki garis dan tujuan hidup yg tegas, tapi lebih dikarenakan beliau memiliki wajah seribu, yg dpt dilihat dan dibaca sesuai dgn posisi sang pembaca dan dlm rangka apa ia membaca.
Adapun penulis bukan karena kebetulan tapi karena disengaja, berdiri dlm posisi memandang wajah beliau sebagai seorang sufi. Dalam guyonan gathuk-gathuk mathuk, seorang teman mengatakan sufi itu kepanjangan dari SUmeleh dlm berFIkir. Walaupun pemaknaan itu dibuat sekenannya saja, tapi penulis ingin merenungi hasil sekenanya itu dgn tak sekenanya, artinya ingin merenungi dan sangat merenunginya. Sebabnya, penulis merasa ada hubungan erat antara sikap spiritual seorang sufi dgn pernyataan-pernyataan spiritualnya yg -dianggap- sangat dlm tapi pd akhirnya kembali kepada titik dasar kesadaran. Artinya, orang sufi itu tak hanya berfilsafat, tapi menjadikan filsafat untk membaca keagungan nilai-nilai spiritual yg telah disebarkan oleh Tuhan dlm wujud semesta ini, berupa wujud yg di dlm wujud itu terdapat kehidupan, yg di dlm kehidupan itu terdapat tanda-tanda yg harus dibaca dan dipahami. Ketika mereka telah mampu membaca tanda-tanda dari Tuhan ini, pd akhirnya mereka terjatuh dlm kekaguman spiritual, dan kesedaran mereka itu akhirnya membawa kepada ketundukan, kepatuhan, kecintaan dan ketawakalan. Tidak bisa seorang yg mengaku sufi dan memiliki ilmu setinggi langit dpt disebut sebagai benar-benar seorang sufi sebelum ia bersedia menjatuhkan ilmunya yg telah sundul langit itu ke bawah, bagian paling dasar, yaitu tanah / lemah, sebagaimana isyarat seseorang yg manembah kepada Gusti Kang Akarya Jagad, tak akan lupa untk nyembah, menyentuhkan simbol kemuliaan -kepala- ke atas tanah, karena disinilah ia mengawali kehadirannya dlm alam makrifat ilmu sejati. Begitu pula dlm membaca seorang Gus Dur dari titik pandang sufi ini, maka kita harus memandang wujud beliau secara keseluruhan. Baik itu wujud lahiriyah maupun wujud batiniyah, baik itu pernyataan-pernyataan hidup yg nampak atapun pernyataan-pernyataan jiwa yg tak nampak dan hanya mampu dibaca melalui cermin spiritual sebagaimana al-Jilli menggunakan cermin itu untk mendapatkan ilmu kesempurnaan tentang insan kamil.
MEMBACA GUS DUR |
Lain lagi ketika beliau bertemu salafi / islam-eksklusif yg bersemboyan kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah, beliau dianggap sebagai orang liberal bahkan dianggap antek-anteknya Yahudi dan Amerika. Dengan kata lain, melihat dan membaca seorang Gus Dur itu bisa mendapatkan kesimpulan yg relatif. Bahkan belum mencapai kesimpulan, imajinasi dan pandangan sepintas kita tentang beliau akan berbeda-beda, bahkan yg semula mengatakan bahwa beliau seperti ni bisa berbalik mengatakan seperti itu. Semua serba tak menentu, walaupun harus disadari bahwa ketidaktentuan itu bukan mendasari kenyataan bahwa beliau tak memiliki garis dan tujuan hidup yg tegas, tapi lebih dikarenakan beliau memiliki wajah seribu, yg dpt dilihat dan dibaca sesuai dgn posisi sang pembaca dan dlm rangka apa ia membaca.
Adapun penulis bukan karena kebetulan tapi karena disengaja, berdiri dlm posisi memandang wajah beliau sebagai seorang sufi. Dalam guyonan gathuk-gathuk mathuk, seorang teman mengatakan sufi itu kepanjangan dari SUmeleh dlm berFIkir. Walaupun pemaknaan itu dibuat sekenannya saja, tapi penulis ingin merenungi hasil sekenanya itu dgn tak sekenanya, artinya ingin merenungi dan sangat merenunginya. Sebabnya, penulis merasa ada hubungan erat antara sikap spiritual seorang sufi dgn pernyataan-pernyataan spiritualnya yg -dianggap- sangat dlm tapi pd akhirnya kembali kepada titik dasar kesadaran. Artinya, orang sufi itu tak hanya berfilsafat, tapi menjadikan filsafat untk membaca keagungan nilai-nilai spiritual yg telah disebarkan oleh Tuhan dlm wujud semesta ini, berupa wujud yg di dlm wujud itu terdapat kehidupan, yg di dlm kehidupan itu terdapat tanda-tanda yg harus dibaca dan dipahami. Ketika mereka telah mampu membaca tanda-tanda dari Tuhan ini, pd akhirnya mereka terjatuh dlm kekaguman spiritual, dan kesedaran mereka itu akhirnya membawa kepada ketundukan, kepatuhan, kecintaan dan ketawakalan. Tidak bisa seorang yg mengaku sufi dan memiliki ilmu setinggi langit dpt disebut sebagai benar-benar seorang sufi sebelum ia bersedia menjatuhkan ilmunya yg telah sundul langit itu ke bawah, bagian paling dasar, yaitu tanah / lemah, sebagaimana isyarat seseorang yg manembah kepada Gusti Kang Akarya Jagad, tak akan lupa untk nyembah, menyentuhkan simbol kemuliaan -kepala- ke atas tanah, karena disinilah ia mengawali kehadirannya dlm alam makrifat ilmu sejati. Begitu pula dlm membaca seorang Gus Dur dari titik pandang sufi ini, maka kita harus memandang wujud beliau secara keseluruhan. Baik itu wujud lahiriyah maupun wujud batiniyah, baik itu pernyataan-pernyataan hidup yg nampak atapun pernyataan-pernyataan jiwa yg tak nampak dan hanya mampu dibaca melalui cermin spiritual sebagaimana al-Jilli menggunakan cermin itu untk mendapatkan ilmu kesempurnaan tentang insan kamil.
source : http://log.viva.co.id, http://cnn.com
0 Response to "[Lowongan Dosen dan Pegawai] MEMBACA GUS DUR"
Post a Comment