jogjacamps.blogspot.com - Al-Balaadzuriy rahimahullah berkata:
Diriwayatkan jg oleh Al-Harbiy[1] dlm Fadlaailu Abi Bakr Ash-Shiddiiq no. 17 dan ‘Abdullah bin Ahmad no. 1315-1316; semuanya dari jalan Abu ‘Awaanah. Sanad riwayat ni shahih[2]. Terus terang saya senang ada orang Syi’ah membawakan dan mengakui riwayat ini, karena hal tersebut menunjukkan bahwa mereka (orang Syi’ah) mengakui ‘Aliy bin Abi Thaalib telah membaiat Abu Bakr, 'Umar, dan 'Utsmaan radliyallaahu ‘anhum dengan penuh keridlaan dan penerimaan, bukan keterpaksaan. Keridlaan dan penerimaan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu merupakan sikap yg sangat terpuji sebagaimana keridlaan dan penerimaan para shahabat yg lain setelah sempat berselisih tentang siapakah yg lebih berhak terhadap kekhalifahan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam[3]. Tidak mungkin keridlaan dan penerimaan dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu diungkapkan terhadap dosa dan maksiat. Ridlaa adlh lawan kata dari as-sukhth (tidak puas, kemarahan), sehingga orang yg ridlaa tak mungkin akan marah, jengkel, / semacamnya. Makna 'engkau ridlaa terhadap sesuatu' adalah:
[1] Akan tetapi Al-Harbiy menyebutkan syaikh dari Khaalid Al-Hadzdzaa’ adlh ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr, dan ni keliru, karena yg benar adlh ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakrah sebagaimana riwayat yg lainnya.[2] Silakan baca pembahasan riwayat yg semisal pd artikel : a. ‘Aliy Berbaiat dan Ridlaa terhadap Kekhalifahan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum (1). b. ‘Aliy bin Abi Thaalib : Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu Menjalankan Pemerintahan Sesuai dgn Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.[3] Para shahabat sempat bersitegang siapakah yg akan menggantikan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kaum Anshaar mengajukan Sa’d bin ‘Ubaidah radliyallaahu ‘anhu, karena mereka merasa sebagai ‘tuan rumah’ sehingga lebih berhak. Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu menyarankan khalifah berasal dari Quraisy. Begitu jg ‘Aliy berpendapat ia mempunyai hak atas kepemimpinan tersebut karena faktor kekerabatannya dgn Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, alasan yg sama ketika ia berpendapat mendapatan warisan Fadak. Tapi yg pasti, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan mandat kepemimpinan yg jelas secara khusus kepada seseorang. Tidak kepada Abu Bakr, tak ‘Umar, tak ‘Utsmaan, tak pula ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنِي رَوْحُ بْنُ عَبْدِ الْمُؤْمِنِ، عَنْ أَبِي عَوَانَةَ، عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِي بَكْرَةَ، أَنَّ عَلِيًّا أَتَاهُمْ عَائِدًا، فَقَالَ: " مَا لَقِيَ أَحَدٌ هَذِه الأُمَّةَ مَا لَقِيتُ، تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا أَحَقُّ النَّاسِ بِهَذَا الأَمْرِ، فَبَايَعَ النَّاسُ أَبَا بَكْرٍ، فَاسْتَخْلَفَ عُمَرَ، فَبَايَعْتُ وَرَضِيتُ وَسَلَّمْتُ، ثُمَّ بَايَعَ النَّاسُ عُثْمَانَ، فَبَايَعْتُ وَسَلَّمْتُ وَرَضِيتُ، وَهُمُ الآنَ يَمِيلُونَ بَيْنِي وَبَيْنَ مُعَاوِيَةَ "
Telah menceritakan kepadaku Rauh bin ‘Abdil-Mu’min, dari Abu ‘Awaanah, dari Khaalid Al-Hadzdzaa’, dari ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakrah : Bahwasannya ‘Aliy pernah datang menjenguk mereka, lalu berkata : Tidak ada seorang pun dari umat ni yg mengalami seperti yg aku alami. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat sedangkan aku adlh orang yg paling berhak dlm urusan ini. Lalu orang-orang membaiat Abu Bakr, kemudian ‘Umar menggantikannya. Lalu aku pun berbaiat (kepadanya), merasa ridlaa, dan menerimanya. Kemudian orang-orang membaiat ‘Utsmaan, lalu aku jg berbaiat (kepadanya), merasa ridlaa, dan menerimanya. Dan sekarang mereka cenderung antara aku dan Mu’aawiyyah [Ansaabul-Asyraf, 2/402].Diriwayatkan jg oleh Al-Harbiy[1] dlm Fadlaailu Abi Bakr Ash-Shiddiiq no. 17 dan ‘Abdullah bin Ahmad no. 1315-1316; semuanya dari jalan Abu ‘Awaanah. Sanad riwayat ni shahih[2]. Terus terang saya senang ada orang Syi’ah membawakan dan mengakui riwayat ini, karena hal tersebut menunjukkan bahwa mereka (orang Syi’ah) mengakui ‘Aliy bin Abi Thaalib telah membaiat Abu Bakr, 'Umar, dan 'Utsmaan radliyallaahu ‘anhum dengan penuh keridlaan dan penerimaan, bukan keterpaksaan. Keridlaan dan penerimaan ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu merupakan sikap yg sangat terpuji sebagaimana keridlaan dan penerimaan para shahabat yg lain setelah sempat berselisih tentang siapakah yg lebih berhak terhadap kekhalifahan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam[3]. Tidak mungkin keridlaan dan penerimaan dari ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu diungkapkan terhadap dosa dan maksiat. Ridlaa adlh lawan kata dari as-sukhth (tidak puas, kemarahan), sehingga orang yg ridlaa tak mungkin akan marah, jengkel, / semacamnya. Makna 'engkau ridlaa terhadap sesuatu' adalah:
قَنَعْت بِهِ وَاكْتَفَيْت بِهِ ، وَلَمْ أَطْلُب مَعَهُ غَيْره
Engkau merasa puas dan merasa cukup dengannya, dan tak menginginkan selainnya [Syarh Shahiih Muslim, 1/51]. Ini seperti perkataan yg ada dlm hadits: ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ، مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا، وَبِالإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yg ridla kepada Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan (nabi) Muhammad sebagai rasulnya [Diriwayatkan oleh Muslim no. 34]. Ridlaa menggambarkan lapangnya hati. Adapun tasliim, maka kedudukannya lebih tinggi dari ridlaa. Tasliim adalah sikap tunduk dan patuh (inqiyaad) terhadap sesuatu, menerima secara total baik lahir dan batin [lihat : Al-Furuuq Al-Lughawiyyah, no. 1012]. Ini seperti sikap yg diterangkan dlm firman Allah ta’ala : فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dlm perkara yg mereka perselisihkan, kemudian mereka tak merasa keberatan dlm hati mereka terhadap putusan yg kamu berikan, dan mereka menerima dgn sepenuhnya [QS. An-Nisaa’ : 65]. Oleh karena itu, jika ‘Aliy mengatakan ia ridlaa dan taslim terhadap kekhalifahan Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum sehingga berbaiat kepada mereka, artinya ia merasa puas, cukup, tak akan mencari/menuntut yg lain, tak ada keberatan hati, dan melaksanakan segala konsekuensinya secara lahir dan batin. Seandainya baiat terhadap Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan merupakan kemunkaran/kemaksiatan di sisi Allah dan Rasul-Nya, maka ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhum tidak mungkin ia bersikap ridlaa dan menerima (tasliim) atas keputusan tersebut. Bahkan haram hukumnya. Kecuali, jika ada orang yg ingin menuduh ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu berperilaku nifaq (beda antara mulut dan hati), dan - na’uudzubillah - sungguh sangat jauh ia dari sifat itu. Seandainya pun dikatakan terpaksa, tetap haram hukumnya merasa ridla dan taslim atas kemunkaran itu - jika itu dianggap sebagai kemunkaran - . Ini seperti firman Allah ta’ala: مَنْ كَفَرَ بِاللَّهِ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِهِ إِلا مَنْ أُكْرِهَ وَقَلْبُهُ مُطْمَئِنٌّ بِالإيمَانِ وَلَكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللَّهِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Barangsiapa yg kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yg dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dlm beriman (dia tak berdosa), akan tetapi orang yg melapangkan dadanya untk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yg besar [QS. An-Nahl : 106]. Maksudnya, seandainya seseorang dipaksa melakukan kemunkaran[4] - bahkan kekafiran - maka ia diberikan ‘udzur, akan tetapi ia tak boleh melapangkan dadanya terhadap kemunkaran yg terpaksa ia lakukan itu. Jika ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu merasa ridlaa dan taslim (menerima), mengapa orang-orang Syi’ah pengikut ‘Abdullah bin Saba’, Khomeini, dan As-Sistaaniy yg mengaku sangat mencintai Ahlul-Bait tak merasa ridlaa dan tasliim ?. Para shahabat, Ahlul-Bait, dan kaum muslimin merasa ridlaa dgn Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan sebagaimana ‘Aliy merasa ridlaa. Kita bersama ‘Aliy bin Abi Thaalib dan Ahlul-Baitnya dlm satu perahu, sementara ‘Abdullah bin Saba’, Khomeini, As-Sistaaniy, dan pengikutnya dari kalangan Syi’ah Raafidlah dlm perahu yg lain. Hanya kepada Allah ta’ala kita memuji atas nikmat Islam ni dan kita doakan semoga orang-orang Syi’ah Raafidlah diberikan petunjuk mau mengikuti agama Islam yg diajarkan ‘Aliy dan Ahlul-Baitnya.Wallaahul-musta’aan. [abul-jauzaa’ - perumahan ciomas permai - 25032015 - 01:03].[1] Akan tetapi Al-Harbiy menyebutkan syaikh dari Khaalid Al-Hadzdzaa’ adlh ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakr, dan ni keliru, karena yg benar adlh ‘Abdurrahmaan bin Abi Bakrah sebagaimana riwayat yg lainnya.[2] Silakan baca pembahasan riwayat yg semisal pd artikel : a. ‘Aliy Berbaiat dan Ridlaa terhadap Kekhalifahan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum (1). b. ‘Aliy bin Abi Thaalib : Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu Menjalankan Pemerintahan Sesuai dgn Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.[3] Para shahabat sempat bersitegang siapakah yg akan menggantikan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kaum Anshaar mengajukan Sa’d bin ‘Ubaidah radliyallaahu ‘anhu, karena mereka merasa sebagai ‘tuan rumah’ sehingga lebih berhak. Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu menyarankan khalifah berasal dari Quraisy. Begitu jg ‘Aliy berpendapat ia mempunyai hak atas kepemimpinan tersebut karena faktor kekerabatannya dgn Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, alasan yg sama ketika ia berpendapat mendapatan warisan Fadak. Tapi yg pasti, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memberikan mandat kepemimpinan yg jelas secara khusus kepada seseorang. Tidak kepada Abu Bakr, tak ‘Umar, tak ‘Utsmaan, tak pula ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا يَحْيَى، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي عَرُوبَةَ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنِ الْحَسَنِ، عَنْ قَيْسِ بْنِ عُبَادٍ، قَالَ: انْطَلَقْتُ أَنَا وَالْأَشْتَرُ إِلَى عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقُلْنَا: هَلْ عَهِدَ إِلَيْكَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَيْئًا لَمْ يَعْهَدْهُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً؟ قَالَ: لَا، إِلَّا مَا فِي كِتَابِي هَذَا، قَالَ: وَكِتَابٌ فِي قِرَابِ سَيْفِهِ، فَإِذَا فِيهِ: " الْمُؤْمِنُونَ تَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ، وَهُمْ يَدٌ عَلَى مَنْ سِوَاهُمْ، وَيَسْعَى بِذِمَّتِهِمْ أَدْنَاهُمْ، أَلَا لَا يُقْتَلُ مُؤْمِنٌ بِكَافِرٍ، وَلَا ذُو عَهْدٍ فِي عَهْدِهِ، مَنْ أَحْدَثَ حَدَثًا، أَوْ آوَى مُحْدِثًا، فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ Telah menceritakan kepada kami Yahyaa : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi ‘Aruubah, dari Qataadah, dari Al-Hasan, dari Qais bin ‘Ubaad, ia berkata : Aku pergi bersama Al-Asytar menuju ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Kami bertanya : Apakah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berwasiat sesuatu kepadamu yg tak beliau wasiatkan kepada kebanyakan manusia ?. Ia berkata : Tidak, kecuali apa-apa yg terdapat dlm kitabku ini. Perawi berkata : Dan kitab yg terdapat dlm sarung pedangnya dimana padanya bertuliskan : ‘Orang-orang mukmin sederajat dlm darah mereka. Mereka menjadi penolong bagi sebagian yg lain, dimana orang-orang yg paling rendah dari kalangan mereka berjalan dgn jaminan keamanan mereka. Ketahuilah, tak boleh dibunuh seorang mukmin karena membunuh orang kafir. Tidak pula karena membunuh orang kafir yg punya perjanjian dgn kaum muslimin. Barangsiapa mengada-adakan sesuatu yg baru (dalam agama) / melindungi orang yg jahat, maka laknat Allah atasnya, laknat para malaikat dan manusia seluruhnya [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/122; shahih].[4] Sebagai informasi, Al-Mufiid - seorang rahib agama Syi’ah Raafidlah - berkata :
اتّفقت الإماميّة على أنّ من أنكر إمامة أحد من الأئمّة وجحد ما أوجبه الله تعالى له من فرض الطّاعة فهو كافر ضالّ مُستحقّ للخلود في النّار Madzhab Imaamiyyah telah bersepakat bahwasannya siapa saja yg mengingkari imaamah salah seorang di antara para imam, dan mengingkari apa yg telah Allah ta’ala wajibkan padanya tentang kewajiban taat, maka ia kafir lagi sesat berhak atas kekekalan neraka [Awaailul-Maqaalaat, hal 44 - sumber : http://al-shia.org/html/ara/books/lib-aqaed/avael-maqalat/a01.htm]. Jadi, proses pengangkatan dan pembaiatan khalifah Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan menurutnya - dan kemudian diikuti oleh segenap penganut agama Syi’ah - merupakan bentuk kemunkaran dan pengingkaran atas keimamahan ‘Aliy. Ya, tegasnya, itu merupakan kekafiran. Kata Al-Kulainiy:
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنِ ابْنِ أَبِي نَصْرٍ عَنْ أَبِي الْحَسَنِ ( عليه السلام ) فِي قَوْلِ اللَّهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَ مَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَواهُ بِغَيْرِ هُدىً مِنَ اللَّهِ قَالَ يَعْنِي مَنِ اتَّخَذَ دِينَهُ رَأْيَهُ بِغَيْرِ إِمَامٍ مِنْ أَئِمَّةِ الْهُدَى
Sejumlah shahabat kami, dari Ahmad bin Muhammad, dari Ibnu Abi Nashr, dari Abul-Hasan (‘alaihis-salaam) tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Dan siapakah yg lebih sesat daripada orang yg mengikuti hawa nafsunya dgn tak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun’ (QS. Al-Qashshash : 50), ia berkata : Yaitu orang yg tak mengambil agamanya dgn pendapatnya sendiri tanpa bimbingan dari imam dari imam-imam yg memberikan bimbingan/petunjuk (baca : imam Syi’ah) [Al-Kaafiy, 1/374]. Al-Majilisy (4/213) dan Al-Bahbudiy (1/43) bilang, riwayat di atas shahih. Artinya, ketika pengangkatan Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmaan sebagai khalifah dan kemudian mengakui kepemimpinan, keputusan, dan agama mereka merupakan bentuk kesesatan yg dibicarakan ayat. Begitu kata orang Syi’ah.other source : http://fb.com, http://abul-jauzaa.blogspot.com, http://flickr.com
0 Response to "‘aliy Berbaiat & Ridlaa Terhadap Kekhalifahan Abu Bakr, ‘umar, & 'Utsmaan Radliyallaahu ‘anhum (2) - Umum"
Post a Comment