Asas Kesediaan Proses Terapi Antara Klien & Terapis

jogjacamps.blogspot.com - Asas Kesediaan Proses Terapi Antara Klien Dan Terapis - Artikel ni akan membahas tentang asas kesediaan selama proses terapi antara klien dan terapis. Melalui artikel ni diharapkan mampu memahami bagaimana asas kesediaan selama proses terapi antara klien dan terapis.

Pasal 9 Asas Kesediaan

Ilmuwan Psikologi dan Psikolog wajib menghormati dan menghargai hak pemakai jasa / klien untk menolak keterlibatannya dlm pemberian jasa/praktik psikologi, mengingat asas sukarela yg mendasari pemakai jasa dlm menerima / melibatkan diri dlm proses pemberian jasa/praktik psikologi.

9.1. Membangun hubungan dlm terapi

Dalam pemberian terapi, keputusan untk melaksanakannya dan proses yg akan dijalani, tujuan yg ingin dicapai, dan keterlibatan pihak yg dianggap terkait, perkiraan jalannya terapi, biaya, dan kerahasiaan dibicarakan bersama dgn klien / pasien sejak awal. Kalau terapi tersebut akan dilakukan di bawah bimbingan / supervisi, hendaknya dibicarakan sejak sebelum dilakukannya terapi.

Nama pihak yg melakukan supervisi, kepentingannya, keterlibatannya dan tanggung jawabnya menurut ketentuan etika dan hukum yg berlaku untk kasus tersebut disampaikan kepada klien / pasien. Kalau terapisnya adlh mahasiswa yg sedang magang, klien diberi tahu mengenai status tersebut. Dalam pemberian terapi kepada klien, Psikolog menunjukkan kesediaan menjawab pertanyaannya.

Sikap ni penting untk menghindari kesalahpahaman dlm proses terapi. Kalau diperlukan dan keadaannya memungkinkan, Psikolog menyediakan informasi lisan / tertulis, dgn menggunakan bahasa dan istilah yg dipahami oleh pasien / klien. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tak terlibat langsung / melalui perantara, dlm permintaan bisnis yg tak diundang dari pasien / klien psikoterapi, baik yg aktual maupun potensial / orang lain yg karena lingkungan khusus mereka rawan terhadap pengaruh yg tak diinginkan. Akan tetapi, hal ni tak termasuk mencoba untk melaksanakan kontak yg sesuai dgn orang lain yg signifikan untk tujuan menguntungkan si klien yg sudah terlibat dlm terapi.

Asas Kesediaan Proses Terapi Antara Klien & Terapis
image source: marinawilliamslmhc.com
baca juga: Sikap Profesional & Perlakuan terhadap Pemakaian Jasa/Klien

9.2. Izin untk terapi

Pemberian terapi psikologis harus memperoleh izin sesuai prosedur. Dalam usaha memperoleh izin tersebut, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menggunakan bahasa dan istilah yg dpt dipahami peserta. Isi yg tercantum dlm pemberian izin tersebut dpt bervariasi karena tergantung pd banyak hal. Akan tetapi, secara umum izin menunjukkan bahwa individu / pihak yg dimintakan izin tersebut telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:
  • mempunyai kemampuan untk menyatakan persetujuan
  • telah diberitahu informasi yg signifikan mengenai prosedur
  • secara bebas dan tanpa dipengaruhi menyatakan persetujuan
  • persetujuan/izin didokumentasikan sesuai prosedur yg tetap.

Dalam hal pihak yg dimintakan izin secara hukum ternyata tak mampu memberi izin, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dpt memintakan izin dari orang / pihak yg secara hukum mempunyai otoritas, sejauh prosedur tersebut dpt diterima dan diizinkan oleh hukum.

Semua bentuk intervensi yg dilakukan dlm terapi tetap diberitahukan oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, meskipun terhadap orang-orang yg secara hukum tak mampu memberikan izin tentang intervensi yg disarankan. Pemberitahuan tersebut dilakukan dgn cara yg sesuai dgn kemampuan psikologis orang tersebut untk dpt memahaminya dgn benar. Maksud pemberitahuan adlh untk dpt memperoleh persetujuan dilakukannya intervensi dan mempertimbangkan pilihan dan kepentingan orang tersebut.

9.3. Hubungan dgn klien dlm kondisi sebagai pasangan dan keluarga

a) Apabila Ilmuwan Psikologi dan Psikolog setuju untk memberikan jasa pd beberapa orang yg mempunyai hubungan (seperti suami dan istri / orang tua dan anak) mereka berusaha menjelaskan berdasarkan penilaiannya, yaitu yg mana dari individu-individu tersebut adlh klien dan hubungan antara terapis dgn masing-masing pihak. Ketentuan ni mencakup peran dan tanggung jawab Ilmuwan Psikologi dan Psikolog dan kemungkinan penggunaan jasa yg disediakan / informasi yg diperoleh. Dalam hal ni perlu diperhatikan kaitannya dgn faktor kerahasiaan yg harus dijaga.

b) Hubungan dgn pasangan dan keluarga secara potensial membuka kemungkinan terjadinya konflik dgn beberapa pihak. Sebagai konselor perkawinan yg dilakukan pd suami istri, bisa saja kemudian menjadi saksi untk salah satu pihak dlm proses perceraian mereka. Dalam hal ni konselor harus melakukan klarifikasi perannya dan menyesuaikan, / menarik diri dari situasi tersebut.

9.4. Memberikan pelayanan kepada klien yg sudah dilayani sejawat

Dalam kondisi dan situasi tertentu mungkin Ilmuwan Psikolog dan Psikolog harus menentukan, apakah akan menerima permintaan klien yg sebelumnya sudah mengikuti terapi dari sejawat lainnya. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog secara hati-hati mempertimbangkan permintaan ni terutama ditinjau dari sudut kesejahteraan calon klien tersebut. Mereka dpt membahas kondisi ni dgn klien, / orang/pihak yg secara sah mempunyai otoritas atas nama klien. Hal ni dimaksudkan untk mengurangi resiko timbulnya kerancuan dan konflik. Berkonsultasi dgn penyedia jasa lainnya dpt pula dilakukan. Bersikap hati-hati dan menyadari kepekaan situasinya sangat penting, terutama berkaitan dgn kemungkinan timbulnya kesan ‘menyabot’ / ‘berebut lahan’.

9.5. Kondisi yg tak disarankan untk melakukan hubungan terapetik

a) Kalau psikolog mempunyai keakraban seksual dgn klien pd saat rencana pemberian terapi, maka hubungan terapetik tak bisa dilakukan.

b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog jg disarankan tak menerima klien untk keperluan terapi bagi orang yg pernah menjadi pasangan seksualnya.

c) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog hendaknya tak terlibat dlm keakraban seksual dgn mantan klien-nya. Akan tetapi bila setelah konsultasi berakhir dan ternyata keduanya saling mencintai, pengembangan hubungan tersebut dpt saja dilakukan. Dalam hal ni diharapkan pengembangan hubungan itu terjadi dlm waktu sedikitnya dua tahun setelah berakhirnya jasa profesional.

Ketentuan untk tak melakukan hubungan profesional dgn mantan klien yg memiliki keakraban seksual didasarkan pd pertimbangan bahwa hal tersebut sering kali sangat merugikan klien. Selain itu jg dpt menurunkan kepercayaan masyarakat pd profesi psikologi, yg kemudian bisa menghambat penggunaan jasa yg diperlukan masyarakat. Dalam kaitan inilah Psikolog diminta untk tak terlibat dlm keakraban seksual dgn mantan klien terapi, bahkan setelah interval dua tahun, kecuali dlm keadaan yg luar biasa. Ilmuwan Psikologi dan Psikolog yg terlibat dlm aktivitas seperti itu dlm waktu dua tahun setelah berakhirnya terapi dpt menanggung beban, antara lain harus menunjukkan bahwa tak ada eksploitasi. Pemberian terapi mungkin dpt dilakukan setelah mempertimbangkan semua faktor, antara lain:
  • jumlah waktu yg telah berlalu sejak berakhirnya terapi
  • sifat dan lamanya terapi
  • penyebab berakhirnya terapi
  • sejarah pribadi klien
  • status mental klien saat ini
  • kemungkinan akibat negatif pd klien dan lainnya
  • setiap pernyataan / tindakan yg dibuat terapis selama proses terapi yg mengusulkan / mengundang kemungkinan hubungan romantis / seksual dgn klien sesudah berakhirnya terapi.

9.6. Pengalihan dan Penghentian Pelayanan/Jasa

a) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog senantiasa menyadari pentingnya perencanaan kegiatannya dan berusaha menyiapkan langkah-langkah yg perlu dilakukan, bila terjadi hal-hal yg dpt menyebabkan penanganan tugasnya mengalami interupsi / terpaksa harus dihentikan, / dialihkan kepada pihak lain (sejawat, rujukan). Menderita sakit, kematian, ketidakmampuan karena satu dan lain hal yg dialami oleh Ilmuwan Psikologi dan Psikolog, / klien pindah ke kota lain, / adanya keterbatasan dlm kemampuan memberikan imbalan jasa adlh alasan yg bisa terjadi.

b) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog tak mengikat klien yg menyebabkannya sangat tergantung hanya pd mereka.

c) Ilmuwan Psikologi dan Psikolog menghentikan hubungan profesional dgn klien ketika kondisi dan situasinya menunjukkan bahwa klien tersebut tak lagi membutuhkan pelayanan jasa/praktik psikologi, / tak merasakan manfaatnya, / diperkirakan mengalami hal-hal yg menyakitkan / merugikan jika diteruskan.

d) Sebelum dihentikannya hubungan profesional tersebut dgn alasan apapun, kecuali klien menghalanginya, Ilmuwan Psikologi dan Psikolog membahasnya bersama klien tentang alasan dan kondisi / situasi yg dihadapi, kebutuhannya, dan menyarankan alternatif lain yg bisa dipilih klien serta membantunya dlm proses rujukan sesuai prosedur terutama bila klien memerlukannya segera.

Pasal 20
Informed Consent

Setiap proses di bidang psikologi yg meliputi penelitian/pendidikan/pelatihan/asesmen/intervensi yg melibatkan manusia harus disertai dgn informed consent.

Informed consent adlh persetujuan dari orang yg akan menjalani proses di bidang psikologi yg meliputi penelitian pendidikan/pelatihan/asesmen dan intervensi psikologi. Persetujuan dinyatakan dlm bentuk tertulis dan ditandatangani oleh orang yg menjalani pemeriksaan/yang menjadi subjek penelitian dan saksi.

Aspek-aspek yg perlu dicantumkan dlm informed consent adlh :
  • Kesediaan untk mengikuti proses tanpa paksaan.
  • Perkiraan waktu yg dibutuhkan.
  • Gambaran tentang apa yg akan dilakukan.
  • Keuntungan dan/atau risiko yg dialami selama proses tersebut.
  • Jaminan kerahasiaan selama proses tersebut.

Orang yg bertanggung jawab jika terjadi efek samping yg merugikan selama proses tersebut. Dalam konteks Indonesia pd masyarakat tertentu yg mungkin terbatas pendidikannya, kondisinya / yg mungkin rentan memberikan informed consent secara tertulis maka informed consent dpt dilakukan secara lisan dan dpt direkam / adanya saksi yg mengetahui bahwa yg bersangkutan bersedia.

Pasal 22
Pengalihan dan Penghentian Layanan Psikologi


Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menyadari pentingnya perencanaan kegiatan dan menyiapkan langkah-langkah yg perlu dilakukan bila terjadi hal-hal yg dpt menyebabkan pelayanan psikologi mengalami penghentian, terpaksa dihentikan / dialihkan kepada pihak lain.

Sebelum layanan psikologi dialihkan / dihentikan pelayanan tersebut dgn alasan apapun, hendaknya dibahas bersama antara Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dgn penerima layanan psikologi kecuali kondisinya tak memungkinkan.

(1) Pengalihan layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dpt mengalihkan layanan psikologi kepada sejawat lain (rujukan) karena:
  • Ketidakmampuan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi, misalnya sakit / meninggal.
  • Salah satu dari mereka pindah ke kota lain.
  • Keterbatasan pengetahuan / kompetensi dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi.
  • Keterbatasan pemberian imbalan dari penerima jasa layanan psikologi.

(2) Penghentian layanan: Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menghentikan layanan psikologi apabila:
  • Pengguna layanan psikologi sudah tak memerlukan jasa layanan psikologi yg telah dilakukan.
  • Ketergantungan dari pengguna layanan psikologi maupun orang yg menjalani pemeriksaan terhadap Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yg bersangkutan sehingga timbul perasaan tak nyaman / tak sehat pd salah satu / kedua belah pihak.

Pasal 73
Informed Consent dlm Konseling dan Terapi

(1) Konselor/Psikoterapis wajib menghargai hak pengguna layanan psikologi untk melibatkan diri / tak melibatkan diri dlm proses konseling psikologi/psikoterapi sesuai dgn azas kesediaan. Oleh karena itu sebelum konseling/psikoterapi dilaksanakan, konselor/psikoterapis perlu mendapatkan persetujuan tertulis (Informed Consent) dari orang yg menjalani layanan psikologis. Persetujuan tertulis ditandatangani oleh klien setelah mendapatkan informasi yg perlu diketahui terlebih dahulu.

(2) Isi dari Informed Consent dpt bervariasi tergantung pd jenis tindakan konseling psikologi / terapi psikologi yg akan dilaksanakan, tetapi secara umum menunjukkan bahwa orang yg menjalani yg akan menandatangani Informed Consent tersebut memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a) Mempunyai kemampuan untk menyatakan persetujuan.

b) Telah diberi informasi yg signifikan mengenai prosedur Konseling Psikologi/ Psikoterapi.

c) Persetujuan dinyatakan secara bebas dan tak dipengaruhi dlm menyatakan persetujuannya.

(3) Informed Consent didokumentasikan sesuai prosedur yg tetap. Hal-hal yg perlu diinformasikan sebelum persetujuan konseling/terapi ditandatangani oleh orang yg akan menjalani Konseling Psikologi/Psikoterapi adlh sebagai berikut:
  • proses Konseling Psikologi/Psikoterapi
  • tujuan yg akan dicapai
  • biaya
  • keterlibatan pihak ketiga jika diperlukan
  • batasan kerahasiaan
  • memberi kesempatan pd orang yg akan menjalani Konseling/Terapi untk mendiskusikannya sejak awal.

(4) Hal-hal yg berkaitan dgn sifat konseling psikologi/psikoterapi seperti kemungkinan adanya sifat tertentu yg dpt berkembang dari proses konseling / terapi, risiko yg potensial muncul, psikoterapi lain sebagai alternatif dan kerelaan untk berpartisipasi dlm proses konseling psikologi/psikoterapi.

(5) Jika Konselor/Terapis masih dlm pelatihan dan dibawah supervisi, hal ni perlu diberitahukan kepada orang yg akan menjalani konseling dan hal ni harus menjadi bagian dari prosedur informed consent.

Daftar Pustaka
  1. Hasan, A.B.P. (2009). Kode etik psikolog dan ilmuwan psikologi. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sekian artikel tentang Asas Kesediaan Proses Terapi Antara Klien Dan Terapis.

other source : http://ilmupsikologi.com, http://tribunnews.com, http://detik.com

0 Response to "Asas Kesediaan Proses Terapi Antara Klien & Terapis"

Post a Comment

Contact

Name

Email *

Message *